Kalangan akademisi sekuler menuduh para cendekiawan Muslim yang tidak sependapat dengan ide liberal sebagai menyucikan pemikiran keagamaan (taqdīs al-afkār ad-dīnī). Padahal pada saat yang sama, mereka sendiri mengimpor pemikiran Barat tanpa proses keilmuan memadai, menganggapnya tanpa cacat, bahkan pada level tertentu: menyucikannya (!) Sehingga tidak berlebihan jika kita juga menyebut mereka sebagai menyucikan pemikiran Barat (taqdīs al-afkār al-gharbī). Mereka ‘merayakan’ liberalisasi sebagai jalan menuju kemerdekaan berfikir, menjadi insan rasional, modern, dan maju sekaligus menuding agama (baca: Islam) sebagai biang kemunduran.
Sebagian kalangan menyindir gerakan ini sebagai pubertas intelektual. Sebagian yang lain menganggapnya sebagai gerakan pembaharuan pemikiran (tajdīd). Namun, dengan pikiran jernih akan mudah ditangkap kesan bahwa gerakan pemikiran ini lebih cenderung kepada gerakan sosial-politik ketimbang wacana keilmuan biasa. Kritik mereka terhadap para sahabat Nabi Saw., ulama, sejarah Islam, tradisi, aqidah, hukum-hukum syariah yang baku, al-Qur’an mushaf Utsmani, dan ilmu Tafsirnya sangat tinggi, mengindikasikan sebuah kemarahan dan kebencian yang tidak wajar. Semangat para akademisi di perguruan tinggi Islam untuk mengkaji pemikiran Barat juga mengalahkan antusiasme mengkaji tradisi pemikiran Islam. Metodologi Barat pun secara semena-mena (tanpa daya kritis) digunakan sebagai pisau bedah untuk menganalisa dan menafsir ulang naṣṣ-naṣṣ sumber syariat dan keilmuan Islam. Alih-alih mengangkat harkat dan martabat umat, liberalisasi pemikiran Islam malah berdampak pada semakin bertambahnya jarak antara kaum Muslimin dengan sumber agamanya sendiri dan tergerusnya rasa hormat kepada otoritas keilmuan Islam.
Jika dikatakan bahwa menjadi Muslim yang rasional menjadi alasan untuk menerima liberalisme dan menepikan agama (baca: Islam) sebagai salah satu sumber kebenaran. Maka, haruskah demikian?
Incoming search terms:
- https://store insists id/rasional-tanpa-menjadi-liberal-vol-1/